pengunjung

Anda pengunjung ke : Redcounter :
Counter Powered by  RedCounter
Assalamu ’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh dan Salam Sejahtera.Selamat datang di blog, http://azay-ste.blogspot.com || Terima Kasih atas kunjungan anda di blog ini mudahan semua isi blog ini bermanfa'at buat kalian semua...

MAKALAH PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SUMBER DAYA ALAM

MAKALAH PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SUMBER DAYA ALAM


Dengan kekayaan alam berlimpah, jumlah penduduk 230 juta orang (terbesar keempat di dunia), dan posisi geoekonomi yang sangat strategis (diantara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Hindia), sejatinya Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Namun, sudah 64 tahun merdeka, status Indonesia masih sebagai negara berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta daya saing ekonomi rendah.
Dalam lingkup ASEAN saja, indeks pembangunan manusia kita hanya diatas Kamboja, Laos, dan Myanmar (UNDP, 2008). Banyak faktor yang menyebabkan kita tertinggal, namun yang paling menentukan adalah belum adanya visi pembangunan ekonomi yang benar dan dilaksanakan secara konsisten serta berkesinambungan. Selama ini, setiap ganti pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, kebijakan pembangunan pun turut berubah. Apa yang dikerjakan oleh pemerintah yang lalu semuanya dianggap salah. Akibatnya, akumulasi kemajuan pembangunan menjadi lamban dan tidak signifikan.
Oleh sebab itu, di tengah arus globalisasi serta tekanan multi krisis mondial (ekonomi, pangan, BBM, dan global warming), kini saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi nasional yang mampu menciptakan kedaulatan pangan, energi, bahan sandang, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya; dan secara simultan mengekspor barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing tinggi. Atas dasar potensi pembangunan yang kita miliki dan dinamika lingkungan strategis global, maka sistem ekonomi nasional yang berdaya saing dan berdaulat itu paling mungkin diwujudkan melalui pembangunan berbasis SDA (sumber daya alam) dengan menerapkan IPTEK dan etos kerja unggul.
Tambak Udang
Sedikitnya ada enam alasan yang mendasari keyakinan tersebut. Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam beragam dan sangat besar. Jika potensi ini dikelola secara profesional, maka dalam jangka pendek dan menengah (5-10 tahun) ekonomi berbasis SDA dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, kesempatan kerja dalam jumlah besar, dan ketahanan pangan serta energi nasional.
Sekadar contoh, jika kita mampu mengusahakan 500.000 ha tambak udang (40% dari potensi total) dengan produktivitas rata- rata dua ton per hektar per tahun, maka dapat dihasilkan satu juta ton udang dengan devisa sekitar US$ 5 per tahun, setara dengan devisa dari total ekspor tekstil saat ini. Tenaga kerja yang dapat disediakan oleh aktivitas tambak udang ini sekitar tiga juta orang.

Dengan mengusahakan 1 juta ha budidaya rumput laut (30% total potensi), dapat diproduksi sekitar 16 juta ton rumput laut kering per tahun. Bila kita ekspor 10 juta ton/tahun dengan harga sekarang US$ 0,7/kg, maka akan diperoleh devisa sebesar US$ 7 miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 3,5 juta orang. Apalagi, kalau rumput laut itu diproses menjadi berbagai semi-refined products (seperti agar, karaginan, alginat, makanan dan minuman) atau refined products(seperti bahan pencampur coklat, milk shake, es krim, permen, pasta gigi, salep, pelembab, shampoo, lotion, industri cat, tekstil, dan film); tentu devisa, pendapatan negara, tenaga kerja, dan multiplier effects yang dihasilkan menjadi berlipat ganda. Padahal, masih banyak komoditas perikanan lain yang harganya tinggi dan laku keras di pasar domestik maupun ekspor, antara lain udang, tuna, kerapu, kakap, baronang, patin, nila, ikan hias, kerang mutiara, teripang, cerax, dan abalone.
Total luas lahan Indonesia yang sesuai untuk perkebunan sawit sekitar 12 juta ha (terluas di dunia), dan baru diusahakan sekitar 7 juta ha. Pada 2008 Indonesia memperoduksi CPO (minyak sawit mentah) sebanyak 18 juta ton (terbesar di dunia), diikuti oleh Malaysia 15 juta ton. Namun, produktivitas kebun sawit Indonesia rata-rata sekitar 12 ton CPO/ha/tahun, jauh lebih rendah ketimbang Malaysia yang mencapai 25 ton CPO/ha/tahun. Sebanyak 65% ekspor Indonesia berupa CPO, dan 35% sisanya berupa produk olahan. Sedangkan, Malaysia 70% ekspornya berupa produk antara dan produk jadi, dan hanya 30% berupa CPO. Produk antara (intermediary products) dari CPO antara lain adalah fatty acid, fatty alcohol, glycerine, dan methyl ether. Dan, produk jadi (finished products) nya antara lain berupa minyak goreng, surfaktan, sabun, berbagai produk makanan, beragam produk farmasi, berbagai produk kosmetik, dan bioenergi.
Masih banyak komoditas perkebunan lainnya yang bernilai strategis, seperti kopi, teh, cokelat, karet, tebu, tembakau, vanila, kapas, pisang abaca, dan lada. Kita pun memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan cocok untuk budidaya berbagai jenis tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, singkong, dan lainnya. Demikian pula halnya untuk hortikultura (buah-buahan dan sayuran) serta tanaman obat (jahe, kumis kucing, temu lawak, kunyik, dan lainnya).
Energi Terbarukan
Sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, seharusnya sektor kehutanan (hutan alam, hutan tanaman industri, produk non-kayu, dan segenap produk hilirnya) pun dapat lebih berperan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Indonesia juga dikaruniai potensi energi terbarukan yang sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan energi nasional sepanjang masa, tidak perlu menghadapi krisis BBM seperti kita alami dalam 5 tahun terakhir. Selain hydropower, geothermal, energi surya, angin, dan energi kelautan (arus pasang-surut, gelombang, dan OTEC); energi terbarukan yang berasal dari tanaman (bioenergy) pun potensinya sangat besar. Lebih dari 50 jenis tanaman seperti aren, jarak, sawit, kelapa, tebu, singkong, jagung, dan bunga matahari, dapat diproses menghasilkan bioenergy (biodiesel dan bioetanol).
Kedua, seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia yang akan mencapai 300 juta dan 8 miliar pada tahun 2020, maka permintaan domestik maupun global terhadap bahan pangan, serat, kayu, obat-obatan, kosmetik, energi, dan jasa-jasa lingkungan yang berasal dari ekosistem alam pun bakal berlipat ganda. Padahal negara-negara lain, terutama negara-negara maju, hampir semua ekosistem alamnya telah dikonversi menjadi kawasan perumahan, kota, industri, pertanian, jalan, dan prasarana pembangunan lainnya. Oleh sebab itu, negara yang kaya SDA, khususnya Indonesia, akan memiliki keunggulan komparatif. Bila keunggulan komparatif ini kita kelola dengan menerapkan IPTEK dan akhlak mulia, maka ekonomi berbasis SDA akan menjadi keunggulan kompetitif yang mampu mendongkrak daya saing ekonomi Indonesia secara dramatis.
Ketiga, bahwa negara dengan penduduk lebih besar dari 100 juta jiwa, jika kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan impor, maka akan susah maju dan mandiri (FAO, 1998). Keruntuhan Uni Soviet adalah salah satu bukti telanjang dari fenomena ini.
Keempat, sebagian besar kegiatan sektor ekonomi berbasis SDA berlangsung di daerah pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, atau di luar Jawa dan Bali. Sehingga, membantu penyelesaian permasalahan nasional yang hingga kini belum terpecahkan, yakni urbanisasi, brain drain, persebaran penduduk yang tidak merata, dan ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Kelima, sehubungan dengan sifatnya yang terbarukan, maka jika dikelola secara bijaksana, sektor ekonomi berbasis SDA terbarukan dapat menjamin pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
Keenam, mayoritas rakyat Indonesia (75%) bekerja di lima sektor ekonomi berbasis SDA, yakni pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, pertambangan dan energi (ESDM), dan pariwisata. Maka, adalah pilihan yang tepat dan cerdas bila kita memperkuat dan mengembangkan kelima sektor ini.
Jika kita mampu menjadikan sektor ekonomi ini lebih efisien, berdaya saing, dan berkeadilan secara berkelanjutan; maka akan tumbuh kembang berbagai basis usaha ekonomi rakyat dan pusat-pusat kemakmuran yang tidak hanya terkonsentrasi di wilayah perkotaan, Jawa, dan Bali; melainkan tersebar merata di seluruh wilayah Nusantara. Lebih dari itu, petani, nelayan, pekerja kehutanan, pekerja tambang, dan pekerja pariwisata yang makmur dengan daya beli tinggi juga akan membeli lemari es, televisi, handphone, buku, sepatu, tas, sepeda motor, mobil, dan produk industri manufakturing serta industri kreatif lainnya. Dengan demikian, industri elektronik, otomotif, industri manufakturing, industri kreatif, jasa transportasi, hotel, jasa keuangan, dan sektor ekonomi lainnya pun akan terdongkrak secara sangat signifikan.
Kalaupun ekonomi berbasis SDA hingga kini belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang maju dan makmur, itu karena penguasaan dan penerepan IPTEK yang masih relatif rendah dalam bidang ekonomi ini. Pendekatan manajemen bisnisnya pun kebanyakan masih terpilah-pilah, tidak ada keterpaduan antara sub-sistem produksi (eksploitasi), pananganan dan pengolahan hasil, distribusi, dan pemasaran.
Industri hilir (processing and manufacturing) yang dapat meningkatkan nilai tambah produk SDA dan industri penunjangnya (seperti alat dan mesin pertanian, perikanan, kelautan, serta pertambangan) pun masih sangat lemah. Dalam hal ini, hampir semuanya kita impor. Daya saing ekonomi berbasis SDA juga digerogoti oleh berbagai kegiatan ilegal (illegal logging, illegal mining, illegal fishing, dan lainnya) yang merugikan negara sekitar Rp 200 triliun atau seperlima dari APBN setiap tahunnya (Bappenas, 2008), dan oleh praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang masih menjamur di lingkungan birokrasi pemerintahan. Kontrak kerjasama dengan korporasi multinasional (asing) di sektor migas, pertambangan umum, dan perkebunan juga ditenggarai jauh lebih menguntungkan pihak asing, dan membuat posisi tawar (kedaulatan) negara termarginalkan. Dan, kebijakan makro politik-ekonomi kita, khususnya kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, IPTEK, dan otonomi daerah, pun belum kondusif bagi kinerja positip ekonomi berbasis SDA.
Guna mempercepat dan memaksimalkan peran bidang ekonomi berbasis SDA sebagai lokomotif (prime mover) kemajuan serta kemakmuran bangsa, maka mulai sekarang kita mesti menerapkan pendekatan ganda (a dual-track approach) dalam membangun ekonomi berbasis SDA.
Pada tataran mikro-teknis, adalah tugas dan tanggung jawab masing-masing Departemen beserta stakeholders nya (terutama Pemda, pengusaha, masyarakat, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan LSM) untuk menjadikan setiap sektor ekonomi SDA (pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, ESDM, dan pariwisata) mampu berkinerja maksimal. Yakni dapat memproduksi komoditas primer, produk antara, produk akhir, dan jasa-jasa secara produktif, efisien, dan berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional dan pasar ekspor secara adil dan berkelanjutan (sustainable).
Produk Unggulan
Atas dasar peta tata ruang dan daya dukung lingkungan nya, di setiap wilayah kabupaten/kota kita lakukan intensifikasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi usaha produksi komoditas SDA. Sehingga, setiap kabupaten/kota bisa memiliki lebih dari satu produk SDA unggulan beserta sejumlah produk turunannya. Bayangkan, kalau satu kabupaten/kota memproduksi dua produk unggulan saja, berarti Indonesia minimal memiliki 960 produk SDA unggulan yang setiap saat siap memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Supaya produktif, efisien, dan berkelanjutan; setiap unit usaha (bisnis) budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, herbal, perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), peternakan, dan perikanan harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya dan menerapkan tekonologi budidaya ramah lingkungan yang meliputi pemuliaan bibit dan benih (genetic improvement), pemberian pakan, manajemen hama dan penyakit, pemupukan, manajemen tanah dan kualitas air, irigasi, teknik perkolaman (pond engineering), manajemen kandang dan padang penggembalaan, dan sebagainya. Pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana produksi budidaya (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, traktor, dan kincir air tambak) dengan harga terjangkau (sesuai nilai keekonomian) menurut kebutuhan setiap daerah.
Di setiap kabupaten/kota perlu dibangun industri pengolahan beserta fasilitas pengemasan dan pergudangan nya untuk beragam komoditas hasil budidaya tersebut. Selain meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja, dan membangkitkan multiplier effects, keberadaan industri hilir yang dekat dengan sentra produksi budidaya juga menjamin harga komoditas primer relatif stabil, sehingga menguntungkan petani serta pembudidaya lainnya. Infrastruktur produksi maupun dasar, seperti bendungan, jaringan irigasi pertanian dan tambak, jalan, telekomunikasi, dan listrik, perlu diperbaiki dan dibangun yang baru sesuai kebutuhan wilayah.
Dalam hal perikanan tangkap di laut, yang pertama harus dilakukan adalah mengurangi jumlah kapal ikan dan nelayan (fishing effort) dari wilayah-wilayah perairan yang overfishing (kelebihan tangkap), seperti Pantura dan Pantai Selatan Sulawesi), sampai pada level 80% dari MSY (potensi produksi lestari). Kelebihan kapal ikan dan nelayan ini selanjutnya dipindahkan ke wilayah-wilayah perairan yang underfishing atau yang selama ini dijarah (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan asing. Lalu, teknologi penangkapan (kapal ikan dan alat tangkap) nya kita modernisir sesuai daya dukung wilayah perairan.
Selain fasilitas tambat-labuh dan bongkar-muat kapal, pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) yang ada mesti kita lengkapi dengan industri penanganan dan pengolahan hasil, serta pengadaan sarana dan logistik untuk melaut. Ini untuk menjamin tersedianya semua keperluan melaut dengan harga relatif murah, dan meningkatkan nilai tambah produk perikanan serta memastikan pasar bagi hasil tangkap nelayan dengan harga menguntungkan. Pelabuhan perikanan baru pun perlu dikembangkan sesuai kebutuhan, jangan sampai terjadi over-capitalization. Prasarana jalan antara pelabuhan perikanan dengan lokasi pasar ikan dalam negeri maupun lokasi pelabuhan ekspor mesti diperbaiki dan dikembangkan.
Pengelolaan Hutan
Untuk sektor kehutanan, sejatinya Indonesia sudah memiliki Kebijakan Nasional tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Sustainable Forest Management) yang mencakup Rencana Tata Ruang Wilayah Hutan, Sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia, Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990), dan perangkat hukum-perundangan lainnya. Jika kita konsisten mengimplementasikan kebijakan nasional ini, diyakini bukan hanya fungsi hutan sebagai penyerap gas rumah kaca dan pengendali proses hidro-orologi yang dapat kita pertahankan, tetapi juga menjadikan hutan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, seperti yang dipraktekkan dan dinikmati oleh Australia, Selandia Baru, Finlandia dan Kanada.
Dengan keanekaragaman keindahan alam dan budaya terbesar di dunia, jika dikelola secara cerdas, sektor pariwisata juga bisa menjadi sumber kemakmuran bangsa. Sampai saat ini, dalam hal jumlah kunjungan wisatawan asing dan perolehan devisa, kita masih di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Oleh sebab itu, kita harus menyempurnakan dan mengembangkan setiap komponen industri pariwisata sebagai sebuah sistem yang terintegrasi, yakni: obyek wisata (attractions), jasa pelayanan (services), transportasi, promosi, dan informasi (Gunn, 1994). Apabila ini dilakukan, niscaya perolehan devisa yang kini hanya US$ 5 miliar dapat ditingkatkan sebesar US$ 2 miliar per tahun secara berkelanjutan.
Dalam hal sektor ESDM, kita harus segera melakukan perbaikan kontrak kerjasama dengan sejumlah korporasi multinasional sektor migas maupun pertambangan umum (seperti emas, tembaga, nikel, dan batu bara) agar kita lebih berdaulat dan diuntungkan. Kini saatnya, kita meneladani negara-negara yang berhasil menjadikan sektor ESDM nya sebagai sumber kemajuan dan kemakmuran bangsanya, seperti Australia, Malaysia, dan Kanada. Nasionalisasi sektor migas seperti yang dilakukan oleh Venezuela dan Bolivia boleh juga menjadi acuan, mengingat sampai sekarang investasi BUMN dan swasta nasional di sektor ini baru mencapai 29 persen. Gas alam diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi dan industri petrokimia nasional yang dapat memperbesar nilai tambah, kesempatan kerja, dan jauh lebih menguntungkan ketimbang diekspor mentah.
Pada tataran makro (politik ekonomi), arsitektur sektor keuangan harus direvisi untuk lebih mendukung pertumbuhan investasi dan bisnis bidang ekonomi berbasis SDA. Sektor pendidikan dan IPTEK mesti difokuskan untuk penguasaan dan penerapan tekonologi di lima sektor ekonomi SDA. Ini sangat krusial guna meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi nasional secara berkelanjutan. Akhirnya iklim investasi dan otonomi daerah harus atraktif dan kondusif bagi tumbuh kembangnya ekonomi SDA di seluruh Nusantara.
Apabila kita fokus dan konsisten mengimplementasikan blueprint pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan dan SDA ini secara berkesinambungan, maka diyakini tidak saja kita akan dapat mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga mampu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar 2025.



Artikel yang berhubungan :



0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Koment anda sebagai NAMA/URL, Masukka nama Anda dan URL anda, URL bisa diisi sembarangan.
contoh URL : BLOG INI, Friendster, Blog kamu, DLL


KIRIM SEKARANG KOMENTAR ANDA DI SINI

 
Resolution: 1024x768px | Best View:

Powered By Blogger | Portal Design By azay kun || Spooky the evil © 2009